Fiqh Syafi'i Matan Abi Syuja

Kewajiban Kepada Mayit

Fatwa Ibnul Qoyyim Al Jauziyah

Do'a orang yang sedang marah

Fiqh Syafi'i Matan Abi Syuja

Shalat khauf dan Larangan Memakai Perhiasan Emas dan Sutera bagi laki-laki

Showing posts with label Soal Jawab Islam. Show all posts
Showing posts with label Soal Jawab Islam. Show all posts

Saturday, September 13, 2014

Batalkah Wudhu Ketika Bersentuhan Dengan Yang Bukan Mahromnya ?



Soal : Batalkah wudhu ketika bersentuhan dengan perempuan yang bukan mahram ?

Jawab : Ada sebagian ulama yang memandang bahwa bersentuhan dengan perempuan yang bukan mahram itu membatalkan wudhu, namun ada sebagian lagi yang memandang bahwa bersentuhan dengan wanita yang bukan mahram itu tidaklah membatalkan wudhu.

Pihak yang mengatakan batal wudhunya itu mengambil hadits riwayat Imam Ahmad dari sahabat Mu'adz bin Jabal. " Seorang laki-laki pernah datang kepada rasulullaah lalu ia bertanya : apakah hukumnya tentang seorang laki-laki yang berjumpa dengan seorang perempuan yang ia kenal, lalu dia lakukan kepada perempuan itu seperti seseorang lakukan kepada istrinya tetapi tanpa bersetubuh dengan perempuan itu ? Diwaktu itu turun ayat : "Kerjakanlah shalat di dua bahagian siang dan malam, karena kebaikan itu menghilangkan kejahatan". Maka rasulullaah berkata : " pergilah engkau berwudhu kemudian shalat". ( HR. Ahmad ).

Maksud hadits tsb adalah ada orang ang bertanya kepada rasulullaah mengenai hukum menyentuh, memegang, mencium perempuan lain yang bukan mahram. Diwaktu itu turun ayat "Kerjakanlah shalat di dua bahagian siang dan malam, karena kebaikan itu menghilangkan kejahatan". Maka rasulullaah berkata : " pergilah engkau berwudhu kemudian shalat".

Dan firman Allah ta'ala :

" aw lamastumu annisaa-a" ( QS An Nisa ayat 43 )

Pihak yang menganggap tidaklah membatalkan wudhu dengan sebab bersentuhan dengan perempuan bukan mahram menolak keterangan dari hadits dan maksud ayat An Nisa ayat 43 tsb.

Mereka yang menolak bahwa bersentuhan dengan bukan mahram tidaklah membatalkan wudhu itu mengatakan bahwa hadits yang diriwayatkan oleh Imam Ahmad itu tidaklah syah. Hadits-hadits tsb diriwayatkan oleh Imam Ahmad juga namun tidak dengan penambahan perkataan "Rasul suruh berwudhu dan shalat". Oleh karena itu maka tidaklah boleh dijadikan alasan.

Kemudian mengenai " aw lamastumu annisaa-a" di surah An Nisa ayat 43 tsb yang menurut bahasa adalah "menyentuh perempuan" dengan tangan, akan tetapi seharusnya diartikan dan dimaknai sebagai "bersetubuh dengan perempuan" dengan alasan bahwa :

1. Kalaupun dikatakan bahwa "lamastum" itu adalah "bersentuhan" maka seharusnya pula ketika bersentuhan dengan ibu, saudara perempuan pun akan membatalkan wudhu, karena ayat tsb tidaklah mengecualikan ibu atau saudara perempuan dan juga tidak ada hadits yang mengecualikannya. Dan mereka pihak pertama yang membatalkan wudhu mengecualikan bahwasanya ketika bersentuhan dengan mahramnya yaitu ibu atau adik perempuan tidaklah membatalkan wudhu namun ketika bersentuhan dengan bukan mahram mereka mengatakan batal wudhunya.

2. Ada diriwayatkan dari A'isyah, "bahwasanya rasulullaah pernah mencium salah seorang istrinya kemudian ia shalat padahal dia tidak berwudhu lagi ". ( HR. Abu Dawud )

Hadits dari A'isyah tsb walaupun dikatakan dhoif namun telah berubah menjadi hasan lighairi dikarenakan adanya jalur periwayatan yang lain yang bersumber pada A'isyah. Dan Ibnu Hajar Al Atsqolani pun mengatakan bahwa hadits tsb mempunyai 10 jalur periwayatannya. 

Dan diriwayatkan lagi : " Telah berkata A'isyah : Pada suatu malam saya kehilangan rasulullaah dari tempat tidur, lalu saya meraba dia (dalam gelap) maka terletaklah dua tangan saya di dua tapak kakinya sedangkan dia dalam keadaan sujud...... ( HR. Muslim )

Ringkasnya adalah pihak yang mengatakan batal wudhunya adalah mengambil dalil dari hadits riwayat Imam Ahmad dan An Nisa yat 43.

Sedangkan pihak yang mengatakan tidaklah membatalkan wudhu itu dikarenakan bahwa hadits riwayat Imam Ahmad tidaklah syah dan tidak menunjukan bahwa menyentuh yang bukan mahram itu membatalkan wudhu. Karena pada dasarnya walaupun didalam hadits tsb dikatakan rasul menyuruh berwudhu maka tidak bisa dikatakan pula bahwa orang tsb awalnya sudah mempunyai wudhu lantas batal wudhu nya dikarenakan bersentuhan dengan bukan mahramnya.

Mengenai ayat "aw lamastumunnisa " itu diartikan sebagai "bersetubuh" bukan "bersentuhan". Karena :

Kalaupun dikatakan bersentuhan batal maka otomatis ketika bersentuhan dengan ibu atau adik perempuan pun seharusnya batal.

Ada beberapa hadits juga yang sanad nya lemah namun naik derajatnya menjadi hasan yang menceritakan bahwasanya rasulullaah pernah mencium seorang istri lalu terus shalat dengan tidak berwudhu lagi.

Kesimpulan : 
Orang yang menganggap batal wudhu ketika bersentuhan dengan bukan mahram itu pendapatnya tidaklah kuat dengan sanad haditsnya yg dhoif, dan kalaupun menggunakan ayat "aw lamastumunnisa" itu tidaklah tepat karena yang dimaksud didalam ayat tsb bukanlah "bersentuhan" namun " bersetubuh".

Oleh sebab itu maka teranglah bahwa menyentuh perempuan itu tidaklah membatalkan wudhu sekalipun perempuan tsb adalah perempuan yang halal untuk dinikahinya !.


Friday, September 12, 2014

Daging Babi Itu Tidak Najis Dan Shalat Membawa Bungkusan Tai


Soal : Tersebut didalam kitab Al Burhan bahwa daging babi itu haram dimakan, akan tetapi tidak najis ketika terkena badan. Apakah benar demikian ?

Jawab : Betul, Daging yang haram dimakan itu kalau kena badan atau tempat shalat tidak perlu di cuci, karena yang dinamakan haram dan najis itu adalah untuk dimakan.

Soal : Kalaupun anda mengatakan bahwa tidak mengapa orang membawa daging babi ketika sedang shalat, lantas bagaimana pula bila seseorang shalat membawa tai, sisa kencing, darah haidh, nifas atau madzi ? Bukankah ketika akan shalat itu kita harus memperhatikan kebersihan pakaian, tempat dan badan kita ?

Jawab : Daging babi didalam qur'an dikatakan haram dimakan, akan tetapi tidak ada sedikit keterangan yang mengatakan wajib dicuci badan, pakaian atau tempat shalat bila terkena daging babi.

Daging babi itu serupa dengan racun. Racun haram dimakan, tetapi tidak ada keterangan yang ia najis mesti dicuci. Begitu juga halnya dengan arak. Adapun mengenai air yang merupakan bekas jilatan anjing maka itupun tidak boleh diminum. 

Adapun tai, kencing, darah haidh, nifas dan madzi itu, diperintahkan untuk dibersihkan baik didalam shalat ataupun diluar shalat. Kalaupun misalnya terbawa dengan sengaja kedalam shalat secara tidak sengaja maka kita tidak bisa mengatakan bahwa shalatnya batal dan tidak bisa pula kita katakan bahwa dirinya telah berdosa.

Namun lain lagi ketika misal seseorang dengan sengaja membawa najis kedalam shalat maka bisa dikatakan bahwa orang tsb berdosa lantaran tidak mentaati perintah untuk menjaga kebersihan dari yang namanya najis. 

Soal : Lantas bagaimana pendapat anda bila, ada seorang yang mau shalat itu melakukan dengan sengaja membungkus tai dengan plastik kemudian dimasukan kedalam sorban atau pakaiannya, bukankah kasus seperti ini dikatakan bahwa dirinya yang bersangkutan terbebas dari yang namanya kotoran tai sebab terbungkus dan terpisah dari yg namanya badan ?

Jawab : Kita jawab bahwasanya orang tsb bukan orang yang mau beribadat, akan tetapi orang yang mau menghina dan bermain-main dengan Allah karena untuk apa pula membawa kotoran bungkusan  tai kedalam shalat ?

Dan juga kita katakan bahwa orang yang bertanya seperti itu adalah orang yang hanya mau bermain-main dengan agama, orang yang menghormati agama adalah orang yang bertanya mengenai apa-apa yang perlu dikerjakan sekarang atau nanti kedepannya.

Orang yang mau membungkus tai dan membawanya dalam shalat dengan alasan bahwa badannya tidak terkena najis maka sudah sepantasnya bungkusan kotoran tsb ditelan kedalam perutnya dengan alasan bahwa yang ia telan adalah hanya bungkusan, bukan tai.




Thursday, September 11, 2014

Musyrik Itu Tidak Najis

Soal : Didalam surah Al Bara-ah / At Taubah ayat 28 bunyinya, " innamaal musyrikuuna najasun". Betulkah bahwa orang-orang musyrik itu dikatakan bahwa fisiknya najis ?

Jawab : Betul memang bahwa ayat tersebut mengatakan bahwa orang musyrik tersebut dikatakan najis, akan tetapi menurut keterangan beberapa hadits bahwa yang dimaksud dengan najis didalam ayat "innamal musyrikuuna najasun" adalah najis 'tiqad dan bukan najis lahiriah badan. 

jawaban tsb diambil dari buku Soal Jawab Tentang Berbagai Masalah Agama karangan A. Hassan.